Minggu, 28 Juni 2009

Utuy dan Sangkuriang

DALAM esainya "Kakayaan Batin Ki Sunda, di Sagigireun Si Kabayan Aya Sang Kuriang", Utuy Tatang Sontani menyatakan bahwa salah satu pedoman hidup manusia Sunda yang selalu dinasihatkan orang tua kepada anak-anaknya adalah sing cageur jeung bageur atau kurang lebih saya terjemahkan "semoga sehat lahir batin dan berbudi baik". Pedoman hidup ini dapat diartikan bahwa manusia Sunda harus ramah dan sopan, tidak jahat kepada orang lain, dan di dalam keadaan terdesak dapat mengkritik dan menertawakan diri sendiri. Di samping pedoman hidup untuk hidup sehat lahir batin dan berbudi baik, Utuy Tatang Sontani menyatakan bahwa harus ada sikap lain yang dimiliki manusia Sunda. Jika pedoman untuk hidup sehat lahir batin dan berbudi baik menggambarkan hidup yang tetap, hidup yang tidak lagi mengalami perubahan, harus ada sikap lain yang dimiliki manusia Sunda. Sikap ini diperlukan karena dalam hidup ada dunia yang tidak tetap. Dalam umur yang panjang ada zaman, ada tahun, ada bulan, ada hari, dan ada menit yang mendatangkan apa-apa dan minta dihadapi oleh sikap yang harus apa-apa oleh apa-apa. Manusia Sunda harus gesit, tegas, dan di dalam keadaan tertentu kadang dibutuhkan sikap berani memberontak atau melakukan sesuatu untuk perubahan.Pandangan Utuy Tatang Sontani terhadap manusia Sunda yang gesit, tegas, dan di dalam keadaan tertentu berani memberontak atau melakukan sesuatu untuk perubahan tertuang dalam karya dramanya, "Sang Kuriang". Pada pandangan umum, Sang Kuriang sering dianggap sebagai manusia yang bejat akhlak. Tokoh ini ada kalanya dianggap sebagai pengejawantahan sifat buruk dan jahat. Utuy mengatakan bahwa mengukur tokoh ini harus dengan ukurannya sendiri seperti malam yang harus diukur dengan ukuran malam bukan dengan ukuran siang. Kebenaran yang ada di dalam diri Sang Kuriang harus diukur dengan ukurannya sendiri.Sang Kuriang dalam drama Sang Kuriang ditampilkan sebagai seorang manusia yang selalu gelisah. Dalam drama ini, Sang Kuriang selalu mempertanyakan siapa ayahnya, mempertanyakan apakah benar Dayang Sumbi yang muda belia adalah ibunya, mempertanyakan apakah adil Si Tumang yang cacat, bisu, dan buruk rupa adalah ayahnya, mempertanyakan apakah adil Dayang Sumbi yang cantik dipetik oleh Si Tumang yang cacat, bisu, dan buruk rupa, serta mempertanyakan kebenaran dan kekuasaan itu milik siapa. Sang Kuriang dalam drama ini adalah representasi pandangan Sontani terhadap manusia yang harus tidak sehat dan tidak baik, manusia yang harus apa-apa oleh apa-apa, dan manusia yang harus tidak pernah merasa puas terhadap segala yang dilihat dan dialaminya. Tokoh ini adalah tipe manusia yang siap menghadapi zaman, menghadapi tahun, bulan, hari, dan menit. Sang Kuriang adalah representasi manusia yang apa-apa oleh apa-apa, manusia yang tidak akan puas hanya dengan mendengar apa yang diucapkan orang lain, bertanya karena ada hal-hal yang harus dipertanyakan, berpikir karena ada yang harus dipikirkan, membunuh karena ada yang harus dibunuh (Utuy Tatang Sontani, 1957). UTUY melihat Sang Kuriang sebagai manusia yang memegang kebenaran sesuai dengan ukurannya sendiri. Sang Kuriang adalah tipe manusia yang tidak tunduk pada konvensi umum. Ia adalah manusia yang akan selalu mempertanyakan kebenaran. Walaupun kebenaran yang ia pegang bertolak belakang dengan konvensi umum, ia akan tetap menjunjung kebenaran tersebut. Sebelum membunuh Si Tumang dan meminang Dayang Sumbi, Sang Kuriang diceritakan sebagai orang yang lahir dari ibu yang tidak memiliki daya dan upaya. Hal ini kemudian dalam konvensi umum disebut sebagai takdir yang Mahakuasa. Namun, Sang Kuriang tidak demikian. Sang Kuriang mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Setelah bertanya kepada semua yang ada di luar dirinya mengenai siapa yang kuasa, ia tidak mendapatkan jawaban. Kemudian Sang Kuriang menemukan jawaban bahwa kekuasaan hanya ada dalam dirinya. Ia menemukan bahwa dirinyalah yang berkuasa. Sang Kuriang adalah representasi manusia yang tidak pernah puas dengan segala yang ia alami. Apa pun yang terjadi dalam hidupnya haruslah dapat dipertanggungjawabkan. Ia tidak akan menerima apa pun sesuai dengan konvensi umum; sesuatu yang menurut pandangan umum benar. Hal itu tentu belum tentu benar baginya. Sang Kuriang menggugat sikap hidup Dayang Sumbi yang menganggap bahwa segala yang terjadi adalah kehendak Dewata Raya. Ia juga tidak menerima bahwa Dayang Sumbi yang cantik dan membuatnya jatuh cinta pernah dipetik Si Tumang, makhluk jelek tanpa daksa. Ia mempertanyakan apakah adil Dayang Sumbi yang cantik dipetik Si Tumang yang tanpa daksa. Apakah yang dialami Dayang Sumbi harus dianggap sebagai keajaiban atau kebohongan? Ia tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Ia tidak yakin bahwa Si Tumang adalah ayahnya. Jika benar Si Tumang adalah ayahnya, ia akan merasa malu. Sang Kuriang terus mempertanyakan apakah benar Si Tumang adalah ayahnya. Ia tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Setelah tidak mendapatkan kebenaran dari orang lain karena semua orang membisu dan tidak tahu, Sang Kuriang bertanya kepada dirinya sendiri. Ia meyakini bahwa jawaban dari dirinya sendiri adalah jawaban satu-satunya. Ia bertanya kepada dirinya sendiri dan ia tidak tahu jawabannya. Kemudian Sang Kuriang menganggap bahwa ketidaktahuan adalah kebenaran satu-satunya. Sang Kuriang membunuh Si Tumang dan meminang Dayang Sumbi karena ia menganggap wujud ayah dan ibu yang tidak menggambarkan keadilan. Apakah adil Dayang Sumbi yang cantik hamil oleh Si Tumang yang cacat dan buruk rupa? Apakah enak menerima takdir menjadi anak dari peristiwa yang tidak adil? Jika Sang Kuriang mengakui Dayang Sumbi sebagai ibu dan Si Tumang sebagai ayah, Sang Kuriang akan merasa disiksa oleh ketidakadilan. Utuy menyatakan bahwa jika Sang Kuriang menerima Si Tumang sebagai ayah dan Dayang Sumbi sebagai ibu, Sang Kuriang akan merasa disiksa oleh ketidakadilan. Jalan satu-satunya untuk lepas dari siksaan tersebut adalah mengakui adanya kebenaran tentang adanya wujud ayah dan ibu. Wujud tersebut adanya di dalam diri Si Tumang dan Dayang Sumbi. Akan tetapi, Sang Kuriang bukanlah orang yang dapat menerima apa pun begitu saja. Ia adalah manusia yang memiliki nilai lain dan mempunyai pandangan lain sebagai gantinya. Ia memiliki "aku" yang berontak terhadap segala ketidakadilan. Dibunuhnya Si Tumang dapat dianggap sebagai dihilangkannya kenyataan yang menyiksa atau dihilangkannya ketidakadilan. Selain itu, dipinangnya Dayang Sumbi dapat dilihat sebagai niat akan dibangunnya hidup yang baru; hidup baru yang di dalamnya terdapat "aku" yang tenteram karena tidak akan mengalami penyiksaan lagi. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Utuy Tatang Sontani melihat Sang Kuriang sebagai manusia yang menghancurkan untuk membangun. Sang Kuriang memiliki pandangan hidup menghancurkan ketidakadilan untuk membangun hidup yang lebih baik dan adil. Semua ini dilakukan dengan persiapan bekal nilai lain untuk membangun kehidupan yang baru. Adapun kegagalan Sang Kuriang dalam membangun hidup yang baru, yaitu menikahi Dayang Sumbi, berada di luar kekuasaan manusia. Jika diukur dengan ukuran manusia, Sang Kuriang adalah seorang revolusioner. Jalan pikirannya dapat dianggap sebagai jalan pikiran manusia merdeka -- seorang manusia berjiwa besar; manusia yang telah menyediakan nilai lain sebagai modal untuk mencapai cita-cita dan membangun hidup yang baru.penulis : Jejen Jaelani - pemerhati sastra.

Legenda Bawang Merah dan Bawang Putih

Kisah dari Jawa Tengah.
Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.
Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikahi saja ibu Bawang merah supaya Bawang putih tidak kesepian lagi. Maka ayah Bawang putih kemudian menikah dengan ibu Bawang merah. Mulanya ibu Bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada Bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.
Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.
Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwa salah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya. “Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”
Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Matahari sudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu. “Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri tepi sungai.
Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya. “Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu. “Siapa kamu nak?” tanya nenek itu. “Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih. “Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek. “Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih. “Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek. Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.

Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih. “Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek. Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.
Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.
Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.
Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.
(SELESAI)

Kisah Orang Pelit

Seorang yang sangat pelit mengubur emasnya secara diam-diam di tempat yang dirahasiakannya di tamannya. Setiap hari dia pergi ke tempat dimana dia mengubur emasnya, menggalinya dan menghitungnya kembali satu-persatu untuk memastikan bahwa tidak ada emasnya yang hilang. Dia sangat sering melakukan hal itu sehingga seorang pencuri yang mengawasinya, dapat menebak apa yang disembunyikan oleh si Pelit itu dan suatu malam, dengan diam-diam pencuri itu menggali harta karun tersebut dan membawanya pergi.
Ketika si Pelit menyadari kehilangan hartanya, dia menjadi sangat sedih dan putus asa. Dia mengerang-erang sambil menarik-narik rambutnya.
Satu orang pengembara kebetulan lewat di tempat itu mendengarnya menangis dan bertanya apa saja yang terjadi.
"Emasku! oh.. emasku!" kata si Pelit, "seseorang telah merampok saya!"
"Emasmu! di dalam lubang itu? Mengapa kamu menyimpannya disana? Mengapa emas tersebut tidak kamu simpan di dalam rumah dimana kamu dapat dengan mudah mengambilnya saat kamu ingin membeli sesuatu?"
"Membeli sesuatu?" teriak si Pelit dengan marah. "Saya tidak akan membeli sesuatu dengan emas itu. Saya bahkan tidak pernah berpikir untuk berbelanja sesuatu dengan emas itu." teriaknya lagi dengan marah.
Pengembara itu kemudian mengambil sebuah batu besar dan melemparkannya ke dalam lubang harta karun yang telah kosong itu.
"Kalau begitu," katanya lagi, "tutup dan kuburkan batu itu, nilainya sama dengan hartamu yang telah hilang!"
Harta yang kita miliki sama nilainya dengan kegunaan harta tersebut.

Kisah 7 Burung Gagak

Dahulu, ada seorang laki-laki yang memiliki tujuh orang anak laki-laki, dan laki-laki tersebut belum memiliki anak perempuan yang lama diidam-idamkannya. Seriiring dengan berjalannya waktu, istrinya akhirnya melahirkan seorang anak perempuan. Laki-laki tersebut sangat gembira, tetapi anak perempuan yang baru lahir itu sangat kecil dan sering sakit-sakitan. Seorang tabib memberitahu laki-laki tersebut agar mengambil air yang ada pada suatu sumur dan memandikan anak perempuannya yang sakit-sakitan dengan air dari sumur itu agar anak tersebut memperoleh berkah dan kesehatan yang baik. Sang ayah lalu menyuruh salah seorang anak laki-lakinya untuk mengambil air dari sumur tersebut. Enam orang anak laki-laki lainnya ingin ikut untuk mengambil air dan masing-masing anak laki-laki itu sangat ingin untuk mendapatkan air tersebut terlebih dahulu karena rasa sayangnya terhadap adik perempuan satu-satunya. Ketika mereka tiba di sumur dan semua berusaha untuk mengisi kendi yang diberikan kepada mereka, kendi tersebut jatuh ke dalam sumur. Ketujuh anak laki-laki tersebut hanya terdiam dan tidak tahu harus melakukan apa untuk mengambil kendi yang jatuh, dan tak satupun dari mereka berani untuk pulang kerumahnya.
Ayahnya yang menunggu di rumah akhirnya hilang kesabarannya dan berkata, "Mereka pasti lupa karena bermain-main, anak nakal!" Karena takut anak perempuannya bertambah sakit, dia lalu berteriak marah, "Saya berharap anak laki-lakiku semua berubah menjadi burung gagak." Saat kata itu keluar dari mulutnya, dia mendengar kepakan sayap yang terbang di udara, sang Ayah lalu keluar dan melihat tujuh ekor burung gagak hitam terbang menjauh. Sang Ayah menjadi sangat menyesal karena mengeluarkan kata-kata kutukan dan tidak tahu bagaimana membatalkan kutukan itu. Tetapi walaupun kehilangan tujuh orang anak laki-lakinya, sang Ayah dan Ibu masih mendapatkan penghiburan karena kesehatan anak perempuannya berangsur-angsur membaik dan akhirnya anak perempuan tersebut tumbuh menjadi gadis yang cantik.
Gadis itu tidak pernah mengetahui bahwa dia mempunyai tujuh orang kakak laki-laki karena orangtuanya tidak pernah memberitahu dia, sampai suatu hari secara tidak sengaja gadis tersebut mendengar percakapan beberapa orang, "Gadis tersebut memang sangat cantik, tetapi gadis tersebut harus disalahkan karena mengakibatkan nasib buruk pada ketujuh saudaranya." Gadis tersebut menjadi sangat sedih dan bertanya kepada orangtuanya tentang ketujuh saudaranya. Akhirnya orangtuanya menceritakan semua kejadian yang menimpa ketujuh saudara gadis itu. Sang Gadis menjadi sangat sedih dan bertekad untuk mencari ketujuh saudaranya secara diam-diam. Dia tidak membawa apapun kecuali sebuah cincin kecil milik orangtuanya, sebuah roti untuk menahan lapar dan sedikit air untuk menahan haus.
Gadis tersebut berjalan terus, terus sampai ke ujung dunia. Dia menemui matahari, tetapi matahari terlalu panas, lalu dia kemudian menemui bulan, tetapi bulan terlalu dingin, lalu dia menemui bintang-bintang yang ramah kepadanya. Saat bintang fajar muncul, bintang tersebut memberikan dia sebuah tulang ayam dan berkata, "Kamu harus menggunakan tulang ini sebagai kunci untuk membuka gunung yang terbuat dari gelas, disana kamu akan dapat menemukan saudara-saudaramu.
Gadis tersebut kemudian mengambil tulang tersebut, menyimpannya dengan hati-hati di pakaiannya dan pergi ke arah gunung yang di tunjuk oleh bintang fajar. Ketika dia telah tiba di gunung tersebut, dia baru sadar bahwa tulang untuk membuka kunci gerbang gunung telah hilang. Karena dia berharap untuk menolong ketujuh saudaranya, maka sang Gadis lalu mengambil sebilah pisau, memotong jari kelinkingnya dan meletakkannya di depan pintu gerbang. Pintu tersebut kemudian terbuka dan sang Gadis dapat masuk kedalam, dimana seorang kerdil menemuinya dan bertanya kepadanya, "Anakku, apa yang kamu cari?" "Saya mencari tujuh saudaraku, tujuh burung gagak," balas sang Gadis. Orang kerdil tersebut lalu berkata, "Tuanku belum pulang ke rumah, jika kamu ingin menemuinya, silahkan masuk dan kamu boleh menunggunya di sini." Lalu orang kerdil tersebut menyiapkan makan siang pada tujuh piring kecil untuk ketujuh saudara laki-laki sang Gadis yang telah menjadi burung gagak. Karena lapar, sang Gadis mengambil dan memakan sedikit makanan yang ada pada tiap-tiap piring dan minum sedikit dari tiap-tiap gelas kecil yang ada. Tetapi pada gelas yang terakhir, dia menjatuhkan cincin milik orangtuanya yang dibawa bersamanya.
Tiba-tiba dia mendengar kepakan sayap burung di udara, dan saat itu orang kerdil itu berkata, "Sekarang tuanku sudah datang." Saat ketujuh burung gagak akan mulai makan, mereka menyadari bahwa seseorang telah memakan sedikit makanan dari piring mereka. "Siapa yang telah memakan makananku, dan meminum minumanku?" kata salah satunya. Saat burung gagak yang terakhir minum dari gelasnya, sebuah cincin masuk ke mulutnya dan ketika burung tersebut memperhatikan cincin tersebut, burung gagak tersebut berkata, "Diberkatilah kita, saudara perempuan kita yang tersayang mungkin ada disini, inilah saatnya kita bisa terbebas dari kutukan." Sang Gadis yang berdiri di belakang pintu mendengar perkataan mereka, akhirnya maju kedepan dan saat itu pula, ketujuh burung gagak berubah kembali menjadi manusia. Mereka akhirnya berpelukan dan pulang bersama ke rumah mereka dengan bahagia.

Kisah Kuda dan Kerbau

Pada Suatu Zaman ada sebuah binatang Kuda dan Kerbau yang sudah bersahabat begitu lama....Tapi ke Dua Binatang ini akhirnya berpisah juga...guna merubah Nasib...Si Kuda Pergi Ke kota untuk merubah Nasibnya...Namun Si Kerbau Tetap Dikampung....bekerja membantu Pak Petani untuk membajak Sawah.Sudah 2 Tahun kedua Binatang ini tidak ada kabar...dan akhirnya Tahun ke 3...Si Kuda berkirim Surat Ke Si Kerbau...Bahwa dia sekarang sudah enak kerja di Jakarta bersama Tuannya membawa barang-barang dagangan. Si Kuda juga memberitahukan bahwa 1 minggu lagi dia akan main kekampung untuk bertemu Si Kerbau.Setelah 1 Minggu Si Kerbau menunggu datangnya Si Kuda, dan akhirnya waktu itu pun tiba....Bahagia sekali perasaan ke dua binatang itu..karena sudah hampir 4 tahun tidak berjumpa....ke dua binatang itu....saling bertukar cerita....Si Kuda bertanya ke Si Kerbau....Bagaimana Keadaan Kamu Kerbau di kampung ini ? Si Kerbau menjawab : Ya biasalah Kuda...saya masih bekerja membantu Pak Petani untuk membajak sawah....kemudian Si Kerbau balik bertanya ke Si Kuda...Kalo kamu Kuda bagaimana di Kota Jakarta....? Si Kuda Menjawab : Asyik...Kerbau..Disana Banyak Hal baru yang tidak ada di kampung ini...Ada Bis yang besar yang bisa mengangkut manusia banyak...Gedung-gedung tinggi...pokoknya seru deh...Wah Asyik ya Lirih Si Kerbau....tidak seperti dikampung yang cuma itu-itu saja.Melihat temannya sedih, Akhirnya Si Kuda ingin mengajak Si Kerbau Ke Kota Jakarta....Hai Kerbau Temanku..Kamu mau Aku Ajak Ke Kota Jakarta ? Mau...mau jawab si kerbau.....Tapi ada syaratnya tanya Si Kuda....Syaratnya apa tanya si kerbau, cium dulu pantat saya, baru nanti kamu saya ajak ke Kota Jakarta...ok deh jawab si kerbau...akhirnya dicium pantat si kuda oleh si kerbauAkhinya Si Kuda dan Si kerbau Pergi Ke Kota Jakarta Ke esokan harinya...Sesampainya di Kota Jakarta, Si Kuda Memberitahukan Ke Si kerbau kalau sudah sampai Kota Jakarta ini jangan banyak bertanya ke Saya....ya...iya jawab si Kerbau....Tidak berapa kemudian Si Kerbau Melihat BusWay...dan bertanya ke Si Kuda....Kuda itu apa ? tuh kan tadi kan saya sudah bilang jangan banyak bertanya...ya udah deh...kamu mau tahu itu apa ? bener kamu ingin tahu Kuda...iya jawab si Kuda penasaran....tapi ada syaratnya tanya si Kuda ? Apa syaratnya tanya si Kuda.....cium dulu pantat saya...akhirnya dicium pantat si kuda oleh si kerbau, si kuda pun memberitahukan kepada si Kerbau bahwa itu Busway...Tempat yang bisa mengangkut manusia banyak dan akan mengantar manusia kemana manusia itu akan pergi....Oohhh....gitu ya jawab si Kerbau sambil Terheran-heran....Akhirnya Mereka berdua berjalan lagi...tidak Lama kemudian si Kerbau Melihat Mall CitraLand, dan bertanya lagi ke Si Kuda....Kuda itu apa ? tuh kan tadi kan saya sudah bilang jangan banyak bertanya...ya udah deh...kamu mau tahu itu apa ? bener kamu ingin tahu Kuda...iya jawab si Kuda penasaran....tapi ada syaratnya tanya si Kuda ? Apa syaratnya tanya si Kuda.....cium dulu pantat saya...akhirnya dicium pantat si kuda oleh si kerbau. si kuda pun memberitahukan kepada si Kerbau bahwa itu Mall Citra Land...Tempat dimana manusia bisa bersenang-senang seperti membeli kebutuhan sembako, membeli pakaian, dan masih banyak lagi deh Kuda....Oooh gitu ya jawab si Kerbau sambil Terheran-heran lagi....Akhirnya Mereka berdua berjalan lagi...tidak Lama kemudian si Kerbau Melihat Onyon di sebelah Mall Cira Land ?

Si Kancil

Si Kancil dan Si Siput
Dari perempatan Harmoni si Kancil lama menunggu hijaunya lampu yang selalu mengalah untuk jalannya Siput Transjakarta yang dengan sombong melenggang di satu jalur khusus berkarpet merah milik para Kancil yang di rampas, karena dia, semua jalan di Jakarta berubah nama menjadi Jl. Bus (Basway). Siput Transjakarta selalu di dahulukan, sedang si Kancil selalu menunggu.
“Hai Siput Transjakarta, kamu duluan. Setelah 100 meter kamu di depan aku baru jalan, akan kukejar kau dan pasti aku dapat mendahuluimu!” tantangan Si Kancil membahana untuk melawan kesombongan Siput Transjakarta.Lampu telah hijau, Si Kancil tancap gas dengan akselerasi tinggi, sebelum pintu Sekretariat Negara posisi persneleng sudah top gear. Mudah saja membalap Siput Transjakarta karena di depan gedung RRI mereka sudah berpindah posisi. Si Kancil sudah di depan sekarang, sambil mencibir, Si Kancil acungkan jempol kemudian membaliknya.
“Dasar lelet!”, ejek Si Kancil.
Dengan tenang Si Kancil terus melaju melewati Jl. Thamrin, tapi betapa kagetnya Si Kancil melihat Siput Transjakarta sudah di depan Sarinah melambaikan tangan, “Hai Kancil, aku di sini..”“Lho kok..?” gumam kancil penuh tanda tanya. “Wah nggak bisa di biarkan, bisa turun reputasiku sebagai raja jalanan.”
Kembali Si Kancil puntir stang gas melaju kesetanan. Di depan Plaza Indonesia mereka sudah beriringan. Tanpa basa basi, di Bundaran HI Si Kancil bermanuver di depan Siput Transjakarta layaknya si raja tikungan Valentino Rossi. “Huh! Kena kau!”, Ejek Si Kancil lagi.Kali ini Si Kancil benar-benar serius untuk melenggang jauh dari Siput Transjakarta hingga Si Kancil finish duluan di Senayan. Semangat Si Kancil menyala-nyala ditambah melihat patung sang Jendral memberi hormat kepadanya.
“Begitu teduh pepohonan di jalanmu wahai Jendral”, puji Si Kancil pada sang Jendral melewati Jl. Sudirman.Beberapa saat kemudian Si Kancil menengok ke belakang, Siput Transjakarta sudah tak telihat lagi. Pasti sudah menyerah, pikirnya. Dengan santai si Kancil menikmati pemandangan indah di belantara batu ini, dengan pohon-pohon beton menjulang tinggi. Tiba-tiba…
“Busyet..!!”, kembali Si Kancil kaget bercampur tak percaya karena dilihatnya lagi Siput Transjakarta ternyata sudah berada jauh di depannya, tepatnya di kampus Atmajaya. Sebelum Si Kancil melanjutkan mengejar Siput Transjakarta, di bawah jembatan Semanggi Si Kancil berhenti sembunyi, sambil geleng-gelengkan kepala dan berpikir, “Kok bisa ya…?”

Legenda Tangkuban Perahu

Di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Bandung terdapat sebuah tempat rekreasi yang sangat indah yaitu Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban Perahu artinya adalah perahu yang terbalik. Diberi nama seperti karena bentuknya memang menyerupai perahu yang terbalik. Konon menurut cerita rakyat parahyangan gunung itu memang merupakan perahu yang terbalik. Berikut ini ceritanya.
Beribu-ribu tahun yang lalu, tanah Parahyangan dipimpin oleh seorang raja dan seorang ratu yang hanya mempunyai seorang putri. Putri itu bernama Dayang Sumbi. Dia sangat cantik dan cerdas, sayangnya dia sangat manja. Pada suatu hari saat sedang menenun di beranda istana, Dayang Sumbi merasa lemas dan pusing. Dia menjatuhkan pintalan benangnya ke lantai berkali-kali. Saat pintalannya jatuh untuk kesekian kalinya Dayang Sumbi menjadi marah lalu bersumpah, dia akan menikahi siapapun yang mau mengambilkan pintalannya itu. Tepat setelah kata-kata sumpah itu diucapkan, datang seekor anjing sakti yang bernama Tumang dan menyerahkan pintalan itu ke tangan Dayang Sumbi. Maka mau tak mau, sesuai dengan sumpahnya, Dayang Sumbi harus menikahi Anjing tersebut.
Dayang Sumbi dan Tumang hidup berbahagia hingga mereka dikaruniai seorang anak yang berupa anak manusia tapi memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Anak ini diberi nama Sangkuriang. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring se lalu ditemani bermain oleh seekor anjing yang bernama Tumang yang dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa.
Pada suatu hari Dayang Sumbi menyuruh anaknya pergi bersama anjingnya untuk berburu rusa untuk keperluan suatu pesta. Setelah beberapa lama mencari tanpa hasil, Sangkuriang merasa putus asa, tapi dia tidak ingin mengecewakan ibunya. Maka dengan sangat terpaksa dia mengambil sebatang panah dan mengarahkannya pada Tumang. Setibanya di rumah dia menyerahkan daging Tumang pada ibunya. dayanng Sumbi yang mengira daging itu adalah daging rusa, merasa gembira atas keberhasilan anaknya.Segera setelah pesta usai Dayang Sumbi teringat pada Tumang dan bertanya pada pada anaknya dimana Tumang berada. Pada mulanya Sangkuriang merasa takut, tapa akhirnya dia mengatakan apa yang telah terjadi pada ibunya. Dayang Sumbi menjadi sangat murka, dalam kemarahannya dia memukul Sangkuriang hingga pingsan tepat di keningnya. Atas perbuatannya itu Dayang Sumbi diusir keluar dari kerajaan oleh ayahnya. Untungnya Sangkuriang sadar kembali tapi pukulan ibunya meninggalkan bekas luka yang sangat lebar di keningnya.Setelah dewasa, Sangkuriang pun pergi mengembara untuk mengetahui keadaan dunia luar.
Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Segera saja dia jatuh cinta pada wanita tersebut. Wanita itu adalah ibunya sendiri, tapi mereka tidak saling mengenali satu sama lainnya. Sangkuriang melamarnya, Dayang Sumbi pun menerima dengan senang hati. Sehari sebelum hari pernikahan, saat sedang mengelus rambut tunangannya, Dayang Sumbi melihat bekas luka yang lebar di dahi Sangkuriang, akhirnya dia menyadari bahwa dia hampir menikahi putranya sendiri. Mengetahui hal tersebut Dayang Sumbi berusaha menggagalkan pernikahannya. Setelah berpikir keras dia akhirnya memutuskan untuk mengajukan syarat perkawinan yang tak mungkin dikabulkan oleh Sangkuriang. Syaratnya adalah: Sangkuriang harus membuat sebuah bendungan yang bisa menutupi seluruh bukit lalu membuat sebuah perahu untuk menyusuri bendungan tersebut. Semua itu harus sudah selesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang mulai bekerja. Cintanya yang begitu besar pada Sangkuriang memberinya suatu kekuatan aneh. Tak lupa dia juga menggunakan kekuatan yang dia dapat dari ayahnya untuk memanggil jin-jin dan membantunya. Dengan lumpur dan tanah mereka membendung air dari sungai dan mata air. Beberapa saat sebelum fajar, Sangkuriang menebang sebatang pohon besar untuk membuat sebuah perahu. Ketika Dayang Sumbi melihat bahwa Sangkuriang hampir menyelesaikan pekerjaannya, dia berdoa pada dewa-dewa untuk merintangi pekerjaan anaknya dan mempercepat datangnya pagi.
Ayam jantan berkokok, matahari terbit lebih cepat dari biasanya dan Sangkuriang menyadari bahwa dia telah ditipu. Dengan sangat marah dia mengutuk Dayang Sumbi dan menendang perahu buatannya yang hampir jadi ke tengah hutan. Perahu itu berada disana dalam keadaan terbalik, dan membentuk Gunung Tangkuban Perahu(perahu yang menelungkub). Tidak jauh dari tempat itu terdapat tunggul pohon sisa dari tebangan Sangkuriang, sekarang kita mengenalnya sebagai Bukit Tunggul. Bendungan yang dibuat Sangkuriang menyebabkan seluruh bukit dipenuhi air dan membentuk sebuah danau dimana Sangkuriang dan Dayang Sumbi menenggelamkan diri dan tidak terdengar lagi kabarnya hingga kini.

Timun Mas

Dua raja Jin sedang bertempur. Raja Jin Merah yang bernama Kala Dungga dan ketika ia hendak dihabisi nyawanya oleh Raja Jin Hijau, sekonyong-konyong ditolong oleh Kyai Ahmad Sholeh sehingga Kala Dungga luput dari maut.
Sebagai rasa terima kasih pada Kyai Ahmad Sholeh, Kala Dungga menikahkan puterinya, Mayang Arum dengan Kyai Ahmad Sholeh. Kyai Ahmad Sholeh kembali ke alam manusia setelah istrinya melahirkan beberapa anak. Sebelum matinya Kyi Ahmad Sholeh berwasiat pada keluarganya yang dari bangsa Jin bahwa salah seorang dari keturunnya yang setengah Jin dan setengah manusia harus ada yang kawin dengan manusia.
Karena itu untuk memenuhi perintah kakek moyangnya, Ahmad Kala Manyu, salah seorang dari keturunan bangsa jin dari Kyai Ahmad Sholeh menaruh bayi cucunya pada sebuah timun raksasa. Timun raksasa itu diberikan pada Mbok Rondo dan bayi yang ditemukan didalam timun itu dipelihara Mbok Rondo yang kemudian diberi nama Timun Mas!
Timun Mas yang semula bangsa jin berkembang jadi gadis cantik. Raja Jin Kala Raja ingin mengawinkan putranya, Kala Seta dengan Timun Mas. Kyai Ismail dengan kemenakannya, Hendrawan juga ingin mempersunting Timun Mas sebagai istrinya pula. Kyai Ismail dan Hendrawan adalah keturunan dari Kyai Ahmad Sholeh. Dia ingin memenuhi wasiat kakek moyangnya. Karena itu Kyai Ismail berjuang mati-matian melawan Raja Jin Merah Kala Raja yang hendak menarik Timun Mas kealam Jin kembali.
Kala Raja mengirimkan raksasa Kala Bendana untuk mengambil Timun Mas balik ke alamnya lagi.

Malin Kundang

Legenda Malin Kundang
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.Karena merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Malin memutuskan untuk pergi merantau agar dapat menjadi kaya raya setelah kembali ke kampung halaman kelak.
Awalnya Ibu Malin Kundang kurang setuju, mengingat suaminya juga tidak pernah kembali setelah pergi merantau tetapi Malin tetap bersikeras sehingga akhirnya dia rela melepas Malin pergi merantau dengan menumpang kapal seorang saudagar.Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman.Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut.
Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang beruntung, dia sempat bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu sehingga tidak dibunuh oleh para bajak laut.Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan tenaga yang tersisa, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang.
Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin yang melihat kedatangan kapal itu ke dermaga melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.Ibu Malin pun menuju ke arah kapal. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang.
"Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi melihat wanita tua yang berpakaian lusuh dan kotor memeluknya Malin Kundang menjadi marah meskipun ia mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya, karena dia malu bila hal ini diketahui oleh istrinya dan juga anak buahnya.Mendapat perlakukan seperti itu dari anaknya ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menyumpah anaknya "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu".Tidak berapa lama kemudian Malin Kundang kembali pergi berlayar dan di tengah perjalanan datang badai dahsyat menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang. Sampai saat ini Batu Malin Kundang masih dapat dilihat di sebuah pantai bernama pantai Aia Manih, di selatan kota Padang, Sumatera Barat.

Tengah Malam

Malam-Malam Nina
Cerpen Lan FangIni sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini."Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng."Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Nina."Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya."Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?""Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu."Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?"Kamu mencintainya, Nina?""Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Nina. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang."Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar terbakar."Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih terasa."Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan."Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan dadaku."Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya."Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas."Nina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa merayapi seluruh permukaan batinku."Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina."Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar."Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku."Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia.""Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak di luar nikah?"Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?""Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan."Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa."Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!""Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat."Apa yang kau inginkan darinya?""Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bayu.